Melunasi Hutang

Berawal dari googlingrandom dengan kata kunci: buku psikologi populer. Saya diarahkan ke sebuah blog yang salah satu tulisannya justru kental dengan nafas benci terhadap buku-buku psikologi populer dan beberapa buku ber-genre “How To”, mungkin yang dimaksud buku-buku motivasi, ya? Tidak tahu pasti apa yang melatar belakanginya berpikir demikian. Ngomong-ngomong, saya juga agak kurang berselera dengan yang ber-genre “How To”.

Masih di blog yang sama, di kategori Buku Psikologi. Saya dibuat penasaran dengan Novel “Therapy”-nya Sebastian Fitzek. Di sampul buku terdapat komentar “Lebih baik dari karya Dan Brown“. Sial kalo memang benar. Berarti keren. Setelah membaca resensi versi pemilik blog, novel yang — katanya — buku psikoanalisis sungguhan ini semakin membuat saya penasaran. Saya langsung cari di toko buku online langganan, ternyata stock-nya habis. Begitu juga dengan toko buku lainnya. Kalaupun ada, si penjual tidak jelas identitasnya. Akhirnya saya putuskan untuk menyempatkan pergi ke toko buku keesokan harinya.

Ditemani Bang Riyad, saya pergi ke Toko Buku Togas Mas di daerah Buah Batu. Kalau kenal Dilan, kamu pasti tahu Buah Batu. Inginnya ke Gramedia, apa boleh buat karena STNK motor yang hilang belum juga selesai diurus, jadi cari toko buku yang lokasinya terdekat, memperkecil kemungkinan berpapasan dengan polisi.

Ternyata buku yang dicari juga habis di Toga Mas. Kami langsung meluncur ke Pasar Buku Palasari: salah satu tempat ter-cozy di Bandung. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari Toga Mas Buah Batu. Benar, Riyad langsung girang karena melihat buku-buku lawas tertata rapih di toko-toko sepanjang pasar. Dia sibuk mencari buku-buku Ayu Utami, sedang saya masih fokus untuk mencari “Therapy”. Toko demi toko saya kunjungi, hasilnya nihil. Akhirnya saya tergoda untuk membeli beberapa buku lain: Api Tauhid, Habiburrahman El Shirazy dan AKU, Sjuman Djaya. Beli AKU ini cuma pengen sok-sok-an nyastra kayak Rangga aja, efek film AADC yang beberapa waktu lalu nge-hits lagi. Ada potongan harga, jadi totalnya 85k.

Dari pada pulang dengan tangan kosong, pikir saya.

Pasar Palasari | foto : pesona-bandung.blogspot.com
Pasar Palasari | foto : pesona-bandung.blogspot.com

Saat berniat ingin pulang, di seberang jalan ada toko buku cukup besar, namanya Bandung Book Center. Baru sadar. Harapan terakhir untuk dapetin “Therapy” sebelum pulang. Tokonya cukup besar, koleksi bukunya cukup banyak. Taksiran saya, koleksi bukunya lebih banyak dari Toga Mas. Tetapi terlihat kurang terawat dan kurang rapih tata letaknya.

Saya sempat bingung, karena tidak disediakan komputer untuk mencari buku yang tersedia. Akhirnya saya tanya petugas, dan ternyata Alhamdulillah “Therapy” ada. Yeah! Tantangan berikutnya muncul. Mungkin karena manajemen bukunya kurang baik, jadi saya dan beberapa petugas cukup kesulitan mencari sebuah buku diantara buku-buku yang sangat banyak. Cara klasik dipakai, mencari di rak demi rak. Sekitar 15 menit kemudian, “Therapy” ditemukan. Ada diskon 25% lho, harganya jadi 52k lebih sedikit.

Kami keluar dari Bandung Book Center. Tapi Riyad masih penasaran dengan buku Ayu Utami yang dia incar, jadi kami coba untuk mencarinya sekali lagi di toko-toko kecil Pasar Palasari, tepat di depan Bandung Book Center. Tiba-tiba kami berdua dipanggil oleh bapak-bapak penjual buku. Menyuruh kami duduk dan bilang:

Mau nyari buku apa de? Ayo duduk-duduk dulu sini. Nanti dicariin“. Kami dirangkul untuk duduk. Tampangnya agak seram, jadi kami nurut hehe.

Ada Doa dan Arwah, pengarang Ayu Utami?“, tanya Riyad.

Ada ada, nanti dicari. Kalo kau apa?“, tanya bapak-bapak penjual buku ke saya, sambil memerintah temannya untuk mencarikan buku pesanan Riyad.

Eng… Catatan Seorang Demonstran punya Soe Hoek Gie, Pak“, jawab saya.

Teman bapak penjual itu pergi, mencarikan buku yang kami mau. Karena penjualnya orang Minang dan Riyad juga orang Minang, sebagai sesama perantau dari asal yang sama, mungkin tidak ada aktivitas yang lebih membahagiakan selain bercengkrama menggunakan bahasa daerahnya. Saya cuma bisa diam, menerka kata demi kata dalam bahasa Minang yang sedang mereka bicarakan. Ingin tahu. Tapi gagal.

Beberapa saat kemudian, teman bapak penjual itu kembali. Hanya satu buku yang ia bawa, “Catatan Seorang Demonstran” pesenanku. Buku Ayu Utami yang dipesan Riyad tidak dibawanya.

Ga ada yang Ayu Utami. Yang lain aja gimana?“, kata si teman bapak penjual buku ke Riyad.

Ini berap, Pak?“, tanya saya.

Emm… 48 ribu“, jawabnya. Terlihat asal ketika memberi harga. Saya tahu harganya bisa lebih murah dari itu.

Awalnya saya tidak terlalu ingin membeli, karena sudah tiga buku yang sudah dibeli. Tapi berhubung Riyad dan Si Penjual sudah ngobrol banyak, — yang saya sendiri enggak tahu isinya apa — jadi ada rasa tidak enak kalau tidak membeli. Akhirnya saya menawarnya.

“Cuma tinggal 30 ribu ni, Pak. Ga ada uang lagi”, saya coba menawarnya lagi

“Waduh, 38 harusnya. Yaudah tambahin 5 ribu la, jadi 35”, balas Si teman bapak penjual dengan logat Minang

Akhirnya saya mengalah, minjam uang Riyad dulu untuk kurangannya. Dan akhirnya saya membeli Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie yang empat Bulan lalu saya coba cari ini di Gramedia Purwokerto, tapi ga nemu. Dipertemukannya di Bandung 🙂

buku2-edit

Tidak terasa sudah khilaf karena terlihat seperti pemborosan, belanja 4 buku sekaligus. Tapi kalau diingat-ingat, terakhir membeli buku itu 4 bulan yang lalu. Berarti saya punya hutang 4 buku di “Proyek 1 bulan – 1 buku” ? Pas berati! Karena sudah berkomitmen 1 bulan – 1 buku demi membuat perpustakaan di rumah sendiri kelak, jadi bisa dibilang ini bukan pemborosan hehe. Serius, ini bukan alasan. Alhamdulillah, Allah mencukupkan, mudah-mudahan sebuah indikasi diberinya ridha untuk cita-cita pembuatan perpustakaan. Aamiin.

Ada teman yang pernah bertanya: Buat apa beli buku banyak-banyak? Kaya dibaca semua aja. Yang kemarin juga belum dibaca.

Sejujurnya agak kesal (haha) Dalam hati saya jawab: Membaca semua buku yang sudah dibeli bukanlah tujuan utama, syukur-syukur bisa semua terbaca. Mungkin minggu ini saya belum membacanya, mungkin ketika saya butuh, mungkin bulan depan, tahun depan, atau 10 tahun lagi bersama anak – istri (eh). Karena cita-cita memiliki perpustakaan bukanlah untuk diri sendiri.

Membeli buku sangat berbeda dengan membeli makanan. Makanan bisa membusuk, sedangkan buku tidak. Paling-paling rusak karena kita tak pandai merawat. Jadi tidak perlu khawatir untuk buru-buru dihabiskan.

Saya lebih suka mengibaratkan aktivitas membeli buku mirip dengan aktivitas membeli tanah atau rumah (sedikit terdengar berlebihan). Kalau tidak cepat-cepat dibeli, kita akan kesulitan mendapatkannya dikemudian hari. Padahal rumah adalah kebutuhan primer. Begitu juga buku — selama ada rezeki lebih — kalau tidak saya beli hari ini, mungkin saya akan kesulitan mendapatkannya jika 20 tahun lagi tiba-tiba saya atau orang-orang terdekat saya butuh dengan ilmu di dalam buku tersebut. Kenyataannya untuk beberapa kasus memang sering begitu.

Itu menurut saya, mungkin menurutmu berbeda. Setiap orang mungkin sekali memiliki tujuan berbeda-beda.

buku1-edit

Kembali ke masalah hutang Proyek 1 bulan – 1buku. Hutang saya sudah lunas ya (kecuali ke Riyad, belum). Semoga dilancarkan rezekinya, jadi koleksi buku di perpustakaan idaman semakin bertambah. Semoga kedepannya bisa lebih konsisten tanpa perlu berhutang lagi, apa lagi sampai 4 buku 😀

E101, 4.02 AM

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.